Selasa, 05 April 2011

Kita Buta. Kita Lumpuh. Kita Mati Rasa



Sering terdengar suara berkata, kenapa aku begini? kenapa aku begitu? Kenapa dia lebih cantik atau gagah dariku? Ah, suara-suara sumbang itu hampir tiap saat terlintas, menari-nari girang di kepala kita.

Pernah seorang teman berkata, apakah aku ini bodoh? Ujian saja aku harus mengulang. Ketika dia lulus ujian, dia mencari pekerjaan, namun Allah belum mengamanahkan sebuah pekerjaan untuknya. Teman itu berkata lagi, ternyata aku benar-benar bodoh, aku bukan orang yang beruntung.

Membaca kisah di atas, siapa yang sebenarnya dia salahkan?siapa yang mengatur rezeki manusia? Tak pantas manusia berkata seperti itu, berkata seolah menyalahkan Allah atas semua kegagalannya. Tak ingatkah kita, kita masih punya keluarga, dengan kasih saygn yang cukup kita di didik, dengan makan yang halal kita dibesarkan. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Sering kita merasa jelek, tak sempurna, tak punya harta. Tidakkah kita ingat, setiap pagi kita masih melihat matahari terbit. Kita masih menghirup segarnya udara. Kita masih merasakan nikmat nasi goreng buatan Ibu. Masihkah kita tidak sempurna? Masihkah kita kekurangan? Lalu bagaimana dengan mereka yang buta matanya, tapi masi tersenyum. Mereka yang terbaring sakit parah, masih mampu tertawa penuh harap. Serendah itukah kita, tak sedikitpun menghargai banyaknya nikmat yang diberikan? Masihkah kita meras kurang?

Apa yang salah dalam diri kita? Siapa yang sebenarnya buta? Para tunanetra? Bukan!!! Kita yang buta, tak mampu melihat besarnya nikmat dari Tuhan kita. Hati kita mati rasa, bebal karena terbuai dunia. Kita lumpuh karena selalu merasa kurang ini dan kurang itu.

Kita buta mata hati

"Rabb, ampuni kami yang tak bersyukur padaMu. Ampuni dosa kufur kami. Ampuni kami yang buta mata hati ini"

HambaMu yang Lemah
5 april 2011

Setitik Air Dari Tuhan

Saat itu aku gersang
Merasa kerontang
tanpa pegangan
Tak tentu arah

Panas ladang ini buat setiap pori tubuh ini mengering
Tenggorokan menjerit menggeliat dengan dahaga yang sangat
Inikah sebuah hukuman Tuhan?
Aku limbung, terombang-ambing di lautan yang gersang

Akhirnya ku terpekur, tersungkur
Aku hilang tanpamu Tuhan
Jauh diri berbelok, makin samar kulihat cahaya-Mu
Aku takut Tuhan,takut kehilangan nikmat bercumbu, bercinta denganMu

CintaMu begitu luas Rabb...
Engkau teteskan setitik air saat dahaga menyerangku
Kau tuntun aku merapat dengan barisan itu
Barisan yang bergelimang cahayaMu

(Palembang, 5 April 2011)
Rasa Syukur yang Amat Sangat

Hidup dan Kematian, Setipis Kulit Ari

Cuaca kota ini begitu cerah, orang-orang bergegas melakukan aktivitas masing-masing. Deru mesin kendaraan menandakan kesibukan tingkat tinggi sedang melanda kota ini. Mobil-mobil terjebak macet, kendaraan roda dua berseliweran dengan kecepatan tinggi saling salip antara celah kendaraan roda empat, semua berpacu dengan waktu.

Keramaian kota pagi ini membuat setiap orang meningkatkan kewaspadaan berkendara demi keselamatn hingga di tujuan. Kurang sedikit kewaspadaa, suatu yang fatal akan terjadi.
Namundemikian, tak yang mampu memprediksi apa yang akan terjadi di tengah kesemrawutan kota pagi ini.

Ya, terkadang kehati-hatian penuh telah kita lakukan, tapi takdir berkata lain. Ada-ada saja yang terjadi yagn membuat kita celaka bahkan kehilangan nyawa.
Inilah yang harus kita waspadai, kematian tiba-tiba yang tak disangka. Tanpa sakit, tanpa peringatan Ah, begitulah kematian, bagai sebuah momok yang selalu menguntit kemanapun kita pergi, seaman apapun tempat itu menurut kita, sehati-hati apapun kita, tetap terselip kematian diantaranya. Bagaimanapun cara kita untuk menghindarinya, kematian itu pasti datang, kapan, dimana, sedang apa, tak ada satupun yang mengetahuinya. Jadi apa yang harus dilakukan?

Saatnya kita berkaca, apakah kondisi kita dalam keadaan siap saat kematian menjemput? Jangan pernah berfikir akan selamat dari kematian, seaman apapun tempat kita berlindung. Mulai detik ini mari kita coba berfikir bagaimana kita menyambut kematian dengan sukacita, dengan kesiapan penuh menghadapi alam baru.
Jangan pedulikan bagaiman cara, tempat, dan sebab kemtaian yang akan menjemput kita. Mari kita sejenak merenung tentang persiapan kita menemui kematian, apapun caranya, dimanapun tempatnya, dan kapanpun waktunya.
Semoga kita diambil dalam kondisi muslim yang sempurna.

Jumat, 01 April 2011

Ini Tentang Seorang Kawan

Terik siang ini melayangkan pikiranku ke beberapa dekade kehidupan ini. Saat kebersamaan bersama seorang kawan. Di tengah terik panas menarik mobil-mobilan dengan seutas tali plastik. Saat itu bau amis ingus masih mendominasi tubuh kami. Kerap terjadi keributan antara kami, mainan yang cuma satu adalah biang masalahnya. Setiap hari pasti ketidakakuran itu terjadi. Namun kejadian-kejadian itu yang membuat kami saling butuh satu sama lain, dari dulu sampai sekarang.

Beberapa musim kami lewati bersama, tiba saatnya kami harus berpisah untuk mengadu peruntungan masing-masing. Ini semua demi cita dan asa yang terpendam padat tentang sebuah kejayaan di masa depan. Kami tinggalkan kebersamaan dengan terpaksa.

Hari demi hari berlalu, bukannya hilang. Tapi semakin bertambah kau ada di hati ini kawan. Kita harus menyadari ini harus terjadi, dan suatu saat kau dan aku akan kembali berkumpul dengan keadaan yang lebih bak, di sebuah rumah mungil di bawah kaki bukit.
Rambahlah belantara ilmu itu dik, jangan pernah hirau akan rasa letih yang melandamu. Pada akhirnya semua akan indah.

(Dedicate for my brother, di sebuah tempat di NAD)

Palembang, 1 April 2011