Sabtu, 22 Desember 2012

Cerita Seorang Ibu

Angin malam itu begitu dingin. Aku duduk di beranda rumah itu ditemani seorang Ibu. Ibu yang sudah mulai beranjak tua, rambutnya sudah mulai memutih. Raut mukanya mulai berubah keriput. Ibu itu merapatkan baju hangatnya, mengurangi dingin yang menerpa. Teh hangat yang ada di depannya tinggal separo. Ibu itu membuka pembicaraan...

"Aku teringat 13 tahun yang lalu, saat itu aku baru memiliki satu anak, anak laki-laki yang sangat aku sayangi, anak laki-laki yang kelak akan ku banggakan pada semua orang. Waktu itu dia berumur 2 tahun, anak yang begitu lucu. Tersenyum, menangis, aku begitu bahagia bersamanya. Aku bersyukur Allah memberikannya untukku."

Si Ibu mengangkat gelasnya, menghirup teh yang mulai dingin pelan-pelan. Dia memejamkan mata.

"Hanya putraku yang menemani hari-hariku. Ayahnya sedang ke luar kota, berjualan sepatu dan pakaian untuk menambah pemasukan keluarga kami. Sebenarnya aku merasa tidak sanggup menceritakan ini, tapi aku juga tidak boleh menyimpannya sendiri. Saat itu, ku tabahkan hati untuk membesarkan putra kesayanganku meski suamiku sedang tidak berada di sisiku. Apapun kesulitannya, harus ku hadapi, begitu tekadku waktu itu."

Matanya menerawang. Saya tatap dalam-dalam wajahnya. Angin malam semakin kuat berhembus di beranda rumah ini tak menyurutkan niatnya untuk melanjutkan kisahnya.

"Hingga suatu siang, tubuh putraku panas, tubuhnya memerah. Awalnya aku mengira ini hanya demam biasa yang akan sembuh jika sudah di kompres, tapi aku salah. Ketika matahari mulai turun, langit gelap, anakku menangis meraung-raung, seperti menahan sakit. Aku periksa tubuhnya yang memerah. Tubuh mungil itu dipenuhi bercak-bercak merah berisi air. Segera aku menggendongnya, berlari menuju rumah tetangga meminta pertolongan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya."

Aku terpaku...

"Di bawah gerimis, aku berlari-lari kecil sambil menggendongnya ditemani seorang tetangga menuju rumah seorang dukun kampung yang sudah biasa mengobati cacar air. Waktu itu belum ada dokter ataupun mantri yang ditugaskan di kampung itu. Hanya ada seorang dukun kampung yang menjadi andalan untuk berobat. Bukan hal gampang untuk mencapai rumah dukun itu, harus menyeberangi sungai dengan air setinggi betis orang dewasa, arus sungaipun cukup deras, ditambah gerimis yang sudah berubah menjadi hujan. Ku dekap tubuh mungil yang masih menangis kesakitan. Tetanggaku mengiringi sambil menasehati agar bersabar. Airmata tak mampu ku bendung, bukan karena lelah, tapi mendengar tangis anakku yang tak kunjung berhenti. Dia pasti sangat kesakitan dengan cacar dari kepala sampai ujung kakinya ditambah dingin hujan yang mengguyur. Dengan kekuatan yang tersisa, aku menyeberangi sungai agar anakku segera diobati."

Mata ini berlinang, tak bisa berkata-kata mendengar kisah itu. Sungguh berat yang Ibu itu rasakan...

"Setelah diobati dukun kampung itu, anakku berhenti menangis. Setelah pamit, kami pualng dengan melewati rute yang sama di bawah hujan. Hatiku dingin, aku menangis. Di dalam tangisku, ku ucapkan do'a sepanjang jalan pulang untuknya agar Allah selalu membersamai setiap langkahnya."

"Lalu Ma?" Tanyaku...

"Putraku sembuh total tanpa sedikitpun bekas cacar di tubuhnya. Seandainya aku terlambat, tentu bekas-bekas itu akan menghiasi tubuhnya sampai sekarang."

****

Mengingat cerita itu selalu membuat ujung mataku berembun. Aku tak mampu berkata-kata mengingat perjuangan membesarkanku. Hari ini, ku coba menulisnya disini karena orang-orang bilang hari ini hari Ibu, bagiku tidak, hari ibuku setiap hari, sepanjang masa. 

Hanya do'a yang bisa kami panjatkan....karena seisi bumi tak mampu untuk membalas kebaikanmu.

Allahummaghfir lii wa liwaalidayya warhamhumma kamaa rabbayaanii shaghiiraa . 

ya allah ampunilah dosa dosa ku dan dosa dosa kedua orang tua ku . kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasihki semasa kecil.

 
 


Kamis, 20 Desember 2012

Merangkai Tujuan

Awalnya merasa belum pantas untuk menyampaikan dan berpendapat tentang tujuan hidup di dunia ini, tapi dari beberapa hari yang lalu pikiran itu menari-nari, melompat ingin keluar. Ditambah lagi dengan melihat kejadian dan fenomena kehidupan yang terjadi disekitar. Bagi pembaca, tulisan ini tidak bermaksud untuk menunjuk-ajari, tapi tidak lebih hanya untuk melepas unek-unek. Semoga berguna dan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Jika kita renungkan, manusia memiliki siklus hidup yang pasti. Kelahiran, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, menjadi tua, lalu meninggal dunia. Semua itu tak bisa kita hindari. Mungkin seperti itu secara umum siklus yang dilewati. Pertanyaannya, apakah hidup sebatas menjalani siklus itu, lantas habis begitu saja?

Sebagai makhluk hidup yang dikaruniai akal pikiran, tentu kita memiliki tujuan dan keinginan. Ingin kaya, punya mobil mewah, berprestasi dalam bidang akademik, dan tujuan-tujuan dunia lainnya. Anehnya, jika satu tujuan telah tercapai, bukannya kepuasan yang kita dapatkan, tapi malah hasrat untuk memperoleh yang lain akan muncul, dan biasanya hasrat itu akan lebih kuat daripada hasrat yang sebelumnya. Orang-orang bilang, begitulah manusia, tidak pernah puas, dan beginilah dunia, begitu menyilaukan. Lalu?
Sebenarnya kita sangat menyadari, tujuan-tujuan di dunia hanya bersifat sementara, tapi kita seolah meletakkan kesadaran itu di "ruang lupa" dalam rangka kepala, lalu perlahan kesadaran itu mengendap dan susah untuk mendapatkannya lagi. Akibatnya kita lupa dan dilenakan oleh tujuan-tujuan sementara. Sejatinya, tujuan-tujuan sementara yang kita kejar di dunia bisa menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang seharusnya kita capai. Penyakit "lupa" dan hilang "kesadaran" membuat kita terlena dan beranggapan, "ah nanti saja."

Penting bagi kita untuk menggali kesadaran yang sudah lama mengendap agar kita kembali tahu apa tujuan kita sebenarnya. Tujuan kita dikirim ke dunia. Ini bukan berarti kita tidak boleh memperoleh tujuan dunia sebanyak-banyaknya. Itulah yang ingin saya sampaikan tentang merangkai tujuan.

Mari kita mulai mendapatkan tujuan dan keinginan kita di dunia, tanpa mengenyampingkan kesadaran bahwa itu hanya sementara. Lalu, tujuan-tujuan dunia yang sudah kita peroleh, kita jalin denga anyaman yang indah, kita rangkai dengan sedemikian rupa untuk menjadi kendaraan nyaman dan tangguh untuk menggapai tujuan hakiki kita. Apakah mudah?

Kembali mengingat sebuah kisah ketika Iblis dihukum Allah karena kesombongannya. Iblis minta kepada Allah agar diperbolehkan menggoda umat manusia hingga akhir zaman.
Nah, ini dia masalahnya, si laknatullah selalu membisikkan cerita-cerita yang melenakan yang membuat kita semakin tidak sadar, dan lagi-lagi kita lupa. Iblis tidak akan berhenti sampai disitu, setelah lupa kita akan dijerumuskan. Apakah setelah itu selesai? Ternyata belum. Iblis akan bahagia ketika kita benar-benar lupa lalu menganggap kealfaan itu bukan lagi dosa tetapi sudah menjadi kebiasaan. Na'udzubillah....

Terakhir, untuk membantu kita merangkai tujuan menggapai ridhoNya, banyak aspek yang harus kita persiapkan. Kematangan ruhiyah tentu saja, lingkungan, dan tak kalah pentinhg adalah memperoleh pendamping hidup yang mengerti kalau hidup ini bukan sebatas 24 jam sehari, atau 7 hari dalam seminggu, yang bisa mengingatkan di kala lupa kalau dunia  tidak selamanya.

Saatnya menjadikan apa yang kita peroleh sekarang dijadikan rangkaian-rangkaian kuat untuk memperoleh tujuan yang sebenarnya.

=Palembang=









Selasa, 18 Desember 2012

Bersyukur Terus, Terus Bersyukur

Daftar yang sudah kita terima:
  1. Oksigen gratis
  2. Nikmat sehat
  3. Air melimpah
  4. Makan yang cukup
  5. Minum yang cukup
  6. Kasih sayang keluarga
  7. Bisa tertawa saat bahagia
  8. Bisa menangis saat sedih (Ini nikmat lho..karena ada orang yang tidak bisa menangis saat sedih, jadinya tidak plong...)
  9. yang paling penting, dan harus diletakkan di nomor satu adalah...nikmat iman dan Islam.
  10. dan banyak lagi nikmat yang kita dapat tanpa kita sadari telah kita gunakan bertahun-tahun.
Rasanya tak cukup air laut dijadikan tinta untuk nikmat-nimat yang harus kita syukuri...
Bersyukur terus,terus bersyukur...Alhamdulillah...

=Palembang, ketika dingin=

Sabtu, 15 Desember 2012

Secangkir Teh Hangat (untuk semua anak di muka bumi)

Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lalu, pagi dengan suasana macet, bising, dan asap. Tak banyak berubah sejak enam tahun lalu, masih saja macet.
Tepat pukul tujuh, saya sudah duduk manis di meja kerja di sebuah instansi pendidikan dan mulai mengerjakan semua rutinitas yang sudah saya lakoni selama kurang lebih dua tahun ini. Rekapitulasi kerusakan laboratorium, perbaikan, dan pemeliharaan. Selesai mengerjakan semuannya, tiba-tiba teringat dua sosok wajah yang disebut pahlawan, lebih dari pahlawan kalau saya boleh menyebutnya. Pengorbanan, kerja keras dan kegigihan mereka membuat mereka pantas dikalungkan gelar pahlawan. Ah, ada lagi, mereka punya sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang membuat kita berkembang, tumbuh dengan caraa yang sangat baik, cinta dan ketulusan. Itulah mereka, dua sosok yang begitu mengagumkan, saya memanggilnya Mama dan Ayah. Apapun panggilan kepada mereka, Ibu, mama, bunda, emak, umi atau ayah, abah, papa, abi, yang jelas tidak akan mengurangi kemuliaan hati yang mereka miliki. Kemuliaan yang disayangi dunia dan dicintai oleh Sang Pencipta.

Enam tahun hidup jauh dari kedua sosok itu membuat saya semakin sadar besarnya arti kehadiran mereka. Cinta, marah, candaan, dan tawa seolah menjadi sumber tenaga untuk berkarya, dan tanpa mereka, rasanya gersang.

Ketika kecil dulu, tiap pagi merengek minta dibuatkan segelas susu, bermanja-manja minta dibuatkan nasi goreng spesial untuk sarapan. Sungguh nikmat. Ah Rabb, belum sempat kami membalas semuanya. Ingin rasanya ketika embun masih turun, kami menyeduh teh hangat untuk mereka, sekedar memberi rasa hangat untuk leher yang mulai keriput. Sambil mereka menikmati secangkir teh hangat yang kami seduh, kami pijit kaki mereka yang mulai linu. Entah kapan kami bisa melakukan untuk mereka. Beri kami waktu untuk itu Rabb.

Sekarang, hati telah ber-azzam untuk menjenguk mereka paling tidak dua kali setahun untuk menyeduh secangkir teh hangat untuk mereka sambil memijit kaki keriput mereka.

*untuk semua anak di muka bumi

=Palembang=

Jumat, 14 Desember 2012

Sekedar Menyapa

Rasanya agak malas menulis, agak malas berfikir, tapi sayang waktu luang ini dilewatkan begitu saja tanpa berbekas. Paling tidak sebagai kenangan nantinya.

Untuk  yang disana, yang entah dimana, sedang apa?
Semoga kau masih disibukkan dengan proses dan latihan membangun peradaban. Semoga kau masih disibukkan dengan sesuatu yang bernama perbaikan diri.
Ah, do'akan aku juga biar bisa melakukan hal yang sama.
-Palembang,14 Desember 2012-

Kamis, 13 Desember 2012

Menikmati Proses

Selamat siang yang disana....
Saya sedang menikmati proses yang baru saya mulai. Kata seorang guru, "yang penting memulai dengan cara yang baik."
Ok....
Sedang apapun kau disana, tetaplah menjadi perhiasan yang berharga.
=13 Desember 2012=


Kamis, 27 September 2012

Menyusuri Setapak Nusantara

Setelah menikah nanti, aku ingin menyusuri setapak demi setapak penjuru nusantara berdua denganmu. Lalu aku akan menulisnya biar semua orang bisa baca.
"Calon Suami Hebat"

Rabu, 26 September 2012

Ini Judulnya Cita-Cita Saya

Berbicara mengenai cita-cita akan muncul banyak profesi yang sederhana sampai profesi yang waaah. Mulai dari penghasilan yang habis dimakan sebulan sampai penghasilan yang ttidak habis dimakan tujuh turunan. Intinya cita-cita itu adalah keinginan. Itu menurut saya.
Lalu apa cita-cita saya? jawabannya banyak. Kalau dihitung dari saya TK sampai sekarang sudah berkerja, cita-cita saya lebih dari selusin tentunya saya punya alasan waktu itu.
Ini cita-cita saya dari dulu sampai sekarang:
  1.  Saat TK cita-cita saya jadi Polisi. Alasannya kalau nanti saya punya anak, anak saya akan ditakuti teman-temannya, seperti seorang teman saya yang bapaknya seorang Polisi. Begitulah pemikiran saya saat TK.
  2. Beranjak SD cita-cita saya berubah. Saya ingin jadi seorang Insinyur Pertanian karena ayah saya bekerja di Dinas Pertanian dan Perkebunan. Seiring berjalan waktu cita-cita saya kandas karena gelar Insinyur Pertanian tidak ada lagi ditukar dengan Sarjana Pertanian, walaupun pada dasarnya sama, saya tetap ngotot untuk merubah cita-cita saya.
  3. Saya juga pernah bercita-cita menjadi pemain bola. Ini terjadi saat saya SMP. Tidak ada alasan untuk cita-cita saya ini, semata karena hobi saya bermain bola waktu itu, jadi saya ingin jadi pemain bola profesional. Cita-cita saya kembali berubah karena saya tidak terpilih menjadi tim sekolah disebabkan badan saya yang tergolong kecil. Di masa ini saya paling sering berganti cita-cita, mulai dari guru, dokter, pilot, dan banyak lagi.
  4. Masa SMA adalah masa yang paling indah, begitu kata orang-orang, tapi tidak untuk cita-cita saya. Zaman SMA saya tidak punya cita-cita (profesi yang diinginkan). Saya hanya ingin melanjutkan kuliah di kampus-kampus favorit di negeri ini, walaupun sepertinya mustahil dengan kemampuan akademik saya yang pas-pas-an..hehehe... jadilah saya pria tanpa cita-cita ketika SMA.
  5. Selepas SMA saya melanjutkan kuliah di Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang. Di sini saya menemukan cita-cita baru, saya ingin jadi penulis, cerpenis, novelis, dan yang sejenis. Angan-angan saya sungguh jauh dengan cita-cita ini. Saaya berangan-angan novel saya menjadi novel bestseller lalu difilm kan. Dan saya otomatis menjadi kaya raya.hehehe..Bermimpi memang enak kawan.
  6. Sekarang, saya bekerja sebagai abdi negara di perguruan tinggi tempat saya kuliah dulu. Meski sekarang saya sudah memiliki penghasilan yang cukup, cita-cita saya sebagai penulis masih menjadi impian sampai sekarang dan harus saya wujudkan.
Begitulah perjalanan cita-cita saya dari dulu hingga sekarang. Tidak tertutup kemungkinan cita-cita itu akan berubah lagi.
Ada sebuah cita-cita saya yang belum tercapai, yaitu masuk surga. Cita-cita yang harus mewajibkan saya mati dulu.

Selama perjalanan hidup saya, hanya satu yang tidak pernah saya cita-citakan, yaitu menjadi POLWAN dan BIDAN. Kawan-kawan pasti tau alasannya.

Rabu, 29 Agustus 2012

Etnis, Unik, Beragam, Satu

Kisah ini mungkin agak terlambat nangkring di blog ini, tapi tak apalah. Menurut saya, ini perlu diceritakan.

Beragam etnis dengan keunikan menjadi satu, atau...Tetap satu dengan keunikan yang berasal dari beragam etnis...Tepatnya Bhineka Tunggal Ika!!!

Sebelum saya lanjut bercerita, mari sejenak melongok ke atas, ada beberapa kata yang menjadi judul tulisan ini. Dari empat kata tersebut bisa dirangkai menjadi lebih dari satu kalimat, lebih dari satu paragraf. Bahkan dari empat kata tersebut, bisa terkumpul ratusan bahkan ribuan pulau yang terpisah-pisah menjadi satu. Dari empat kata tersebut, ada dua warna yang selalu berkibar di langit yang menaungi bumi yang terpisah oleh lautan dan samudera. Tanpa saya jelaskan, pembaca pasti tahu maksud dan isi dari tulisan ini.Yess!!! INDONESIA.
 
Mereka bilang," Indonesia negara terkorup."

Mereka juga berteriak,"Indonesia minim prestasi."

Dia menuding,"Indonesia negara gagal."

Saya dan kita hanya bisa tertawa mendengar tudingan mereka. Mereka yang berkata itu hidup, mencari makan, dan menghirup udara Indonesia, tapi tetap saja menuding.

Kami Punya Indonesia Kami Sendiri!!! Bukan Indonesia dari mereka yang suka menuding dan melihat dari sisi negatif.

*******

Beberapa bulan yang lalu saya dan teman-teman mengikuti diklat prajabatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Sawangan Depok. Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil. Sebuah pengalaman unik dan seru yang akan menjadi penghuni "ruang ingat" di otak selam hidup.

Disana, kami bertemu dengan orang-orang yang berasal dari seluruh penjuru tanah air, kalau di wakilkan satu per satu, mungkin cukup untuk mewakili dari Sabang sampai Merauke.Dari ujung barat ada Bang Khalid dengan logat Acehnya yang sangat kental, Adri Angso Duo dari jambi tapi bahasanya kental dengna logat Minang, saya perwakilan dari Palembang yang berasal dari Minang juga. Dari tanah Jawa ada Bang Dona dari Tegal, para teteh dari Bandung dengan logat Sundanya. Tak ketinggalan Octo dari Sulawesi, Womi, emi, Kak Dina dengan keunikan budaya timur mereka yaitu Papua. Sungguh sungguh unik dengan budaya dan watak masing-masing daerah. Semua bahasa bercampur. Memang kami menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, tapi bahasa Indonesia dengan lidah kami masing-masing itulah kelucuan yang menghangatkan suasana saat kumpul-kumpul bahkan juga menyebabkan keriuhan di dalam kelas.Ragam bahasa kita memang indah dan unik kawan.

Selama diklat, kami tak merasakan Indonesia yang di cap jelek oleh mereka disana. Bagi kami, kami berkumpul disana adalah Indonesia dengan keberagaman dan saling menghargai.

Satu yang saya ingat ketika belajar ngomong jorok dari Octo, kami share ngomong jorok dari daerah masing-masing,hehehehe...kalau yang ini, don't try at home adik-adik...hahahaha...

Finally, kami membuktikan...

Etnis yang beragam, keunikan yang berbeda, tidak menghalangi untuk kita jadi SATU.
BHINEKA TUNGGAL IKA bukan hanya slogan, tapi nyata. Paling tidak bagi kami, para abdi negara baru.

Salam dari Sabang sampai Merauke....

 


Selasa, 28 Agustus 2012

Danau Singkarak, Sekali Lagi

Seminggu yang lalu, mungkin lebih. Saya kembali menghirup aroma tanah minang, tanah dimana saya dilahirkan. Tanah yang menurut saya menyajikan kebesaran Tuhan dengan panorama alamnya yang sangat luar biasa. Saya yang sudah kesekian kali bolak-balik ke tanah ini, bahkan lahir disini masih berdecak kagum melihat keindahan panorama alam tanah ini. Danau Singkarak, itu salah satunya. Salah satu tempat indah pertama yang saya lewati dari perjalanan darat Palembang-bukittinggi. Oaaalaaaah....untuk kesekian kali saya berdecak kagum melihat awan bergayut manja di atas puncak gunung di pinggir danau Singkarak. Perkampungan di kaki gunung setengahnya masih tertutup embun. Saya cuma bisa berdecak kagum memuji kebesaran Sang Pencipta, Kreator semua yang sekarang tersaji di depan mata saya. Pikiran saya kemana-mana menyaksikan danau ini. Mulai dari bermain air di sepanjang bibir danau sampai membayangkan mengajak istri saya nanti berbulan madu disini menikmati embun pagi di Danau Singkarak.HAHAHAHa....Ah..rencana yang sempurna sekali. Semoga kau disana membaca ini, eaaaaa....hahahahaha....Maaf cerita ini mulai agak pink..maklum cuaca Palembang mulai dingin sejak diguyur hujan pertama di bulan Syawal. Singkarak, tahun depan saya datang lagi, atau lebih cepat. Saya berharap datang tidak sendirian lagi Singkarak, tapi bersama ciptaan Tuhan yang lebih indah darimu Singkarak (agak lebay...)