Kamis, 14 Oktober 2010

Psikopat Tukang Nangis Part 1


PSIKOPAT. Apa yang terbayang di benak kita semua tentang kata itu? Pasti yang terbayang adalah:
-pembunuh berdarah dingin
-pake clurit
-melukai tanpa rasa berdosa...

kira-kira begitu ya gambaran seorang psikopat di film-film thriller Indonesia, lebih dan kurang saya mohon maaf.

Psikopat di cerita ini beda, sangat beda. Beda pangkat 12 dengan psikopat di film-film. Sebenarnya terlalu kejam gue menyebut dia seorang psikopat, karena dia adalah adik laki-laki gue sendiri, kenalkan namanya DIAN. 3 tahun lebih muda dari gue. Sebelumnya ngga ada yang tau kalau dia berani membuat "pecah" (red: berdarah) kepala anak tetangga yang notabene teman bermain kami. Sampai kejadian hari itu...

15 tahun yang lalu
Saat itu gue adalah seorang anak SD berumur 7 tahun yang sedang imut-imutnya dengan ingus-ingusan. Begitupun si dian, seorang bocah 4 tahun yang tak kalah imutnya dengan dakocan mainan kami. Dua orang bocah imut ini selalu main berdua, tak pernah terpisahkan. Ngga ada teori pasti yang menyatakan mereka cuma main berdua, tanpa teman yang lain. Mungkin gara-gara anak lain males temenan secara dua bocah ini pada ompong dan giginya pada hitam semua. Ini disebabkan dua bocah imut ini makhluk paling males gosok gigi. Gue aja pernah dicelupin bak mandi karena ngotot ngga mau gosok gigi. Benar-benar tragis!!!

Bermula di suatu hari minggu yang cerah, indah, dan mentari bersinar dengan riangnya. Tak ada yang kurang di pagi minggu itu, semua burung berterbangan di udara karena emang burung kodratnya adalah terbang, kalau berenang namanya ikan, bukan burung. Dua bocah itu (gue dan dian adik gue) bermain di halaman rumah kami, main mobil-mobilan, karena kami ngga dibeliin boneka, ayah kami takut nanti kami terobsesi menjadi cantik seperti Barbie dan imut layaknya winnie the pooh. Dan itu mungkin ayah lakukan untuk membunuh bakat bencong di dalam diri kami.

Sedang asyik bermain, datang seorang anak tetangga seumuran gue mendekat dan memperhatikan kami sambil mengulum dengan nikmat es di tangannya. Namanya ATMA. Setelah esnya habis, si Atma mendekat dan mencoba bergabung dengan gerombolan si berat yang pada masa itu masih seceking paman Gober. Dan jadilah kami main bertiga, gue, Dian, dan Atma si anak tetangga. Disinilah masalah timbul, cuma ada dua mobil-mobilan yang bisa dimainkan, mobil-mobilan yang lain sudah pada ancur karena dibanting-banting Dian, mungkin terinspirasi tayangan Smack Down yang saat itu belum ada di TV. Gue sama Dian ngga mau ngalah sama si Atma, jadilah si Atma ngambek, kami tak peduli. Mungkin si Atma sakit hati karena ketidakpedulian kami, tiba-tiba dengan beringas, dengan air liur keluar beserta taring, hidung berair, mata merah, si Atma mendengus ke arah kami, kaki dihentakkan ke tanah, dan...............berlari ke arah gue, tanpa rasa welas asih, mobil-mobilan gue ditarik, dirampas, dijenggut. Gue ngga rela kehormatan gue di pertaruhkan, gue bales tarik. Seperti di film-film silat, adegan tarik-menarik itu ditayangkan dalam bentuk slow motion, daun-daun beterbangan, waktu seolah berhenti, dan tanpa disangka-sangka, dengan adegan slow motion juga, Dian datang dengan santai, beserta batu di tangan, tok....tok....dua kali batu diketok di kepala si Atma, gue noleh ke arah Dian, seolah tak percaya dan terharu, seakan berkata dalam hati," adik, apa yang kau lakukan? itu manusia, bukan tiang listrik", untuk diketahui, dulu kami hobi mukul-mukul tiang listrik kalau sedang stress.

Back to adegan pemukulan
Darah perlahan mengucur, mobil-mobilan terjatuh ke tanah. Atma menangis, dan berlari pulang ke rumahnya. Gue coba cari si Dian, lenyap. Gue kalut, kemana adik gue? kenapa hilang ditelan bumi? Mungkinkah anak sekecil itu kena azab karena kekerasan yang dia lakukan. Gue pulang dengan kaki lunglai, dengkul gue seperti lepas. Apa yang harus gue katakan ke mama dan ayah tentang lenyapnya Dian?
Lalu masuk ke rumah, dan kaget dengan kejadian yang ada di depan gue. Si Dian sedang makan dengan lahapnya seolah ngga terjadi apa-apa. Setelah makan, Dian jajan.
Gue : bagi donk jajanannya...
Dian : Ngga ah bang, beli sendiri.
Gue : Abang bilangin mama yang tadi..
Dian : Jangan bang....(sambil masukin semua jajanan ke dalam mulutnya)
Gue : Abang bilangin mama....hayo....
Dian : (nangis ketakutan, berlari kekamar, ambil bantal, dan terisak).

Gue jadi heran, barusan gue hampir ngasih predikat psikopat ke si Dian, tapi apa pantas psikopat pake acara nangis kalo diancam? kayanya perlu PK (peninjauan kembali) tentang gelar psikopat untuk si Dian.

Pemukulan hari itu membuat jantung gue sama Dian ketakutan di rumah, tapi sampai sore keadaan masih kondusif, ngga ada tanda-tanda orang tua Atma datang untuk balas dendam.

Tapi apakah nanti malam bakal aman? itu yang terbersit dalam pikiran gue. Akankah orang tua Atma datang dengan pihak keamanan lengkap dengan senjata otomatis untuk melumpuhkan kami? Ngga kebayang jika pasukan elit datang, lalu kami digelandang keluar rumah dengan tangan di borgol. TUDUHANNYA ADALAH : PEMUKULAN BERENCANA.(Begitulah pemikiran anak 7 tahun semasa itu. Keren ya gue, udah tau pasukan elit waktu umur 7 tahun, hehehe)