Kamis, 30 April 2015

Belajar Lagi, Lagi-Lagi Belajar

Sudah lama tidak mencoret laman ini, terakhir menulis di laman ini saat berada di tanah rencong, menulis sambil menikmati sensasi menghirup kopi aceh di warung-warung kopi yang tersebar hampir diseluruh sudut kota Banda Aceh. Terkadang saya merasa hal ini adalah hal yang sangat bertolak belakang dalam hidup saya, saya yang bercita-cita ingin jadi penulis tapi sangat jarang melakukan aktifitas menulis. Sama seperti ketika bercita-cita menjadi seorang saudagar kaya tapi jarang bersentuhan dengan aktifitas perdagangan., tapi saya sedang tidak tertarik membahas cita-cita saya yang masih mengawang-awang, bahas yang lain sajalah...
Ini cerita tentang obrolan dengan nenek yang terbaring di rumah sakit. Nenek sekarang beruisa 77 tahun. Seorang pensiunan guru SD yang saat melihat berita tentang kurikulum pendidikan selalu membandingkan perhatian guru zaman dulu dengan guru zaman sekarang kepada anak didiknya. Mungkin ini intuisi seorang guru.

Nenek berkisah tentang ayahnya yang bernama Abdul Rauf. Ayah beliau biasa juga dipanggil Buya. Buya Abdul Rauf adalah murid H. Karim Amarullah atau dikenal dengan nama Inyiak DR, bapak dari Buya HAMKA. Buya Abdul Rauf dan kawan-kawan pernah mendirikan sekolah tarbiyah di Bukittinggi. Sekolah ini tidak seperti yang kita bayangkan, punya bangunan tetap seperti sekolah-sekolah zaman sekarang tapi sekolah tarbiyah ini memakai surau-surau untuk tempat belajarnya. Maklumlah, fasilitas tidak semumpuni sekarang, tetapi semangat belajar yang luar biasa menjadikan sekolah tanpa bangunan tetap itu tetap bisa didirikan.

Satu yang saya kagumi dari Buya Abdul Rauf adalah ketidaksukaannya kepada semua bentuk acara yang berlebihan, mubazir, dan bermegah-megah.
Suatu ketika, adik dari nenek yang berbeda Ibu melangsungkan pernikahan di daerah Lubuk Basung, buya Abdul Rauf sebagai ayah yang berdomisili di Maninjau datang ke Lubuk Basung untuk menikahkan anaknya tersebut. Beliau sudah mendapat kabar, setelah akad nikah akan diselenggaakan acara pesta selama tiga hari. Pesta adat minang dengan musik, silat, dan lainnya. Sebetulnya beliau sangat tidak setuju dengan bermegah-megah yang menjurus kepada hal mubazir, tapi pihak keluarga yang lain sudah merencanakan acara tersebut jauh-jauh hari. 

Apa yang terjadi selanjutnya???

Buya tetap dengan pendiriannya. Setelah menikahkan anak gadisnya, buya kembali ke Maninjau tanpa ikut serta dalam acara pesta pernikahan selama tiga hari itu yang tidak sesuai menurut prinsip yang beliau pegang.

Kisah ini sudah lama saya dengar dari nenek, kisah seorang yang berpegang teguh pada prinsip dan ajaran agama. Begitulah Buya Abdul Rauf, yang sejujurnya sempat membuat saya sedikit jumawa memiliki silsilah seorang yang zaman dahulu salah satu inisiator sekolah tarbiyah dan gerakan Muhammadiyah di daerahnya, tapi saya tersentak ketika tiba-tiba teringat bahwa " keimanan dan keshalehan bukan hal yang bisa diwariskan". Disitu saya belajar, kenapa anak-anak atau cucu-cucu orang besar kebanyakan menjadi orang besar juga, itu karena mereka menjadikan ayah atau kakek meeka sebagai teladan dalam berlaku, bukan hanya menggadang-gadangkan silsilah dan keturunan. 
Tapi tunggu dulu, mungkin saja itu tidak berlaku untuk mereka yang mendompleng nama leluhur mereka yang dulu orang hebat. Sebenarnya saya sedang tidak ingin nyinyir, tapi saya selalu tergoda, maafkan saja.

Tidak ada komentar: