Senin, 07 Januari 2013

Senyum Penjual Kacang Rebus (Edisi Belajar Senyum)

Angin berhembus kuat, petir menggelegar, kilat menyambar, langit gelap seakan ingin menumpahkan seluruh isinya. Banyak kendaraan melaju dengan cepat pada malam itu, mengejar agar segera sampai di tempat berteduh sebelum hujan tumpah. Warung-warung tenda mulai bergegas mengemasi barang dagangan. Hujan membuat mereka tak ingin pulang larut. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB.


Rintik mulai turun, membasahi tanah yang kerontang karena panas tadi siang. Saya bergegas keluar untuk membeli beberapa buah lilin, sekedar berjaga-jaga. Biasanya listrik akan mati jika ada hujan disertai angin. Teori sebab-akibat selalu terjadi disini, jika hujan dengan angin kencang, maka listrik pun mati. Okay, kembali ke lilin....
Warung tidak terlalu jauh dari rumah, hanya melewati satu toko bangunan. Hujan mulai turun dengan deras, saya mempercepat langkah. Sebelum mencapai warung tempat menjual lilin, saya agak tertegun melihat seorang tua bungkuk sedang mengggeser gerobak dagangannya ke arah toko bangunan agar tidak basah oleh hujan. Tak ada lampu di emperan toko bangunan itu, hanya ada cahaya temaram yang berasal dari lampu petromaks yang bertengger manis di atas gerobak bapak penjual kacang rebus itu. Kemanusiaan saya berteriak pilu, miris melihat pemandangan yang saya saksikan. Seorang tua bungkuk, di bawah hujan deras, malam, masih berada di luar rumah dengan gerobak reot menjual kacang rebus. 

Sementara di jalanan, mobil-mobil mengkilat melaju kencang dengan angkuhnya takut di guyur hujan, meninggalkan percikan-percikan air yang mereka tak tau mengenai siapa. Ironis!

Setelah membeli lilin, saya menoleh ke arah si bapak penjual kacang rebus. Bapak itu tersenyum sambil menampakkan gigi-gignya yang sudah jarang dan sudah menghitam. Senyumnya membuat saya ingin mampir, sekedar menyapa. Ya, senyum si bapak tua penjula kacang rebus seolah punya magnet, magnet yang menggerakkan hati saya untuk bertanya, sekedar bercerita.

Di bawah hujan, di emperan toko bangunan, saya terlibat obrolan singkat dengan si penjual kacang rebus. Tentang dia, anak-anaknya, dimana rumahnya. Lain waktu akan saya ceritakan tentang isi obrolan kami karena kali ini bukan isi obrolan yang akan saya bahas, tapi senyum. Yess, senyum. Senyum yang selalu tersungging manis di bibir kering bapak tua itu. Setiap saya mengajukan pertanyaan, bapak itu menjawab sambil tersenyum. Kita semua pasti tahu, beda senyum tulus, senyum terpaksa, atau senyum karena menertawakan hidup. Ini tulus kawan!!! Senyum dengan wajah cerah di bawah temaram lampu petromaks. Padahal jawaban-jawaban yang bapak itu berikan adalah jawaban yang sangat sedih menurut pendapat saya, jawaban yang menggambarkan betapa keras dan tidak adilnya hidup yang beliau alami. Semoga Allah memuliakannya karena perjuangannya mencari nafkah.

Sekarang, mana senyum kita? 

Dan, apakah senyum itu tulus?

Saya...Kita....Mungkin tidak pernah mencicip hidup sekeras itu. Berjualan di bawah hujan pada malam hari. Kita makan dengan nikmat tiga kali sehari, tidur dengan nyenyak di kasur yang empuk, dan tidak kedinginan. Lalu mana senyum kita? Ayo kita putar waktu saat kita bayi, ingat? atau sudah lupa? Ketika orang tua kita berkata,"Ayo senyum Nak, ayo senyum sayang." dan kita pun tersenyum, bahkan tertawa. Lupakah kita kalau kita sudah belajar tersenyum dari dulu? Apakah senyum kita sudah hilang di telan beban hidup dan masalah? 

Aaaah....

Seandainnya kita sudah lupa cara tersenyum, mari kita belajar tersenyum (lagi) kepada "GURU KEHIDUPAN" yang saya temui semalam di bawah hujan, Si Bapak Tua Penjual Kacang Rebus.

(Palembang)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Inspiring people, walaupun penjual kacang rebus bapak itu adalah guru kehidupan :)