Bosan ditipu oleh gemerlap hidup di kota besar yang bertopeng bedak, lipstik, dan pakaian-pakaian bagus yang dikenakan oleh orang-orang yang berlalu-lalang di mall dan pusat perbelanjaan, cobalah sesekali luangkan waktu menengok geliat ekonomi di pasar-pasar tradisional. Disana ada nilai lain yang bisa dijadikan pelajaran hidup.
Selama ini kita terlena dan mulai tertipu oleh tampilan indah yang disuguhkan kota besar dalam bentuk pusat perbelanjaan modern dan segala isinya. Keterlenaan ini perlahan membuat hilangnya rasa empati kepada kalangan yang tak tersentuh oleh gemerlap kota, bahkan mereka adalah pihak yang dirugikan. Itulah mereka yang saya saksikan di sebuah minggu yang panas di sudut Pasar 16 Ilir Palembang.
Di tengah terik, mereka duduk di belakang jualan berupa burung dan jenis unggas lain, asap rokok mengepul menemani mereka menunggu pembeli. Sesekali terdengar siul membujuk agar burung dalam sangkar berkicau untuk menarik perhatian orang yang berlalu lalang. Di sudut lain, beberapa orang sibuk membelai bulu ayam jago di bawah sengatan matahari, keringat mengucur deras, tapi mereka seperti tak peduli. Di mata mereka tersirat sebuah kalimat, "yang penting ayam ini laku, persetan dengan panas dan bau apek keringat." Tak hanya pria, wanita juga ambil peran di pasar burung ini. Menjaga dagangan berupa ayam jago. Sesekali tangan keibuan mereka yang mulai kasar menyeka keringat yang menetes di wajah.
Keriuhan siang oleh suara unggas tak terhenti oleh panas hari. Berbeda nyata dengan keriuhan yang ada di pusat-pusat perbelanjaan modern yang dibuai oleh dinginnya AC. Saya perhatikan satu per satu mata lelah mereka, bergeser ke sebuah sisi yang agak teduh, sepasang mata wanita seolah berkata kepada saya, " INILAH HIDUP MASBRO!!!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar