Senin, 17 Februari 2014

Banda Aceh, Kota Unik (Bag.1)

Sejarah bangsa ini pernah mengisahkan tentang kegigihan orang Aceh mempertahankan tanah mereka dari penjajah. Bahkan penjajah harus memberi "tugas tambahan" kepada seorang Snock Hurgronje untuk menyusup sebagai orang aceh dan beraktifitas bersama masyarakat mereka karena tanah rencong tidak akan pernah takluk di bawah kekuatan sebesar apapun. Patriotisme Teuku Umar, teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Daud Beureuh sudah lekat di kepala sejak duduk di sekolah dasar, dan hari ini saya diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah kelahiran Panglima Polim.


15 Desember 2014
Kemarin, sebagian orang sibuk dengan perayaan hari kasih sayang, perayaan yang menurut saya adalah sebuah kebiasaan mem"bebek" tanpa mengkaji lagi latar belakang dari perayaan tersebut. Tapi sudahlah, hari ini saya juga sibuk dengan sebuah rasa yang disebut dengan KETIDAKSABARAN!!!, ya...ketidaksabaran yang ditulis dengan caps lock on dan ditambah tanda seru kembar tiga. Ini sebuah penekanan karena saya memang sangat tidak sabar untuk segera melakukan perjalanan yang selama ini saya idam-idamkan. Banda Aceh, kota yang dari dulu sangat ingin saya kunjungi.

Tepat pukul 14.00 saya bertolak dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, disini perjalanan saya dimulai.

Menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 menit, pesawat saya mendarat dengan selamat di Soekarno-Hatta sekitar pukul tiga tepat. Perjalanan udara Palembang-Banda Aceh harus melewati dua kali transit, Jakarta dan Medan. Transit di Soetta selama 3 jam adalah hal yang sangat membosankan, bahan bacaan menarik untuk mengisi waktu kosongpun tidak saya masukkan ke dalam list barang dalam perjalanan kali ini, saya hanya membawa satu buku yang boleh dikatakan buku yang sangat membosankan. Foto sana-sini akhirnya ampuh untuk membunuh rasa bosan saya selama tiga jam.
Suasana Transit Bandara Soetta 


Ini bacaan penambah pusing kepala, bukan pembunuh rasa bosan
Adegan yang membuat saya sejenak menjadi iri. Bukan iri pada kemesraan mereka bertiga, tapi saya iri pada anak kecil ini. Kecil-kecil sudah naik pesawat,lah saya...baru naik pesawat saat saya berumur kepala dua.
Setelah melewati waktu-waktu yang membosankan, akhirnya panggilan boarding menuju Medan terdengar juga, panggilan yang saya rindukan. Selama tiga jam, bukan berarti tidak ada hal menarik yang terjadi. Dalam tiga jam penantian, saya terlibat percakapan dengan seorang penumpang dengan tujuan Medan.

Saya :  Mau kemana bang? Medan? Banda Aceh?
Abang-abang orang Medan: Aku mau ke Medan. Dari tadi ga muncul-muncul pengumuman boarding penerbangan 379.
Saya : Tadi udah muncul...kayanya kita pesawat yang sama.
Abang-abang orang Medan : Sampai sekarang belum juga di panggil.... (kesal).... Beginilah L**n, tak delayed tak puas dia...(dengan logat Medan yang sangat kental).

Pukul 20.00 saya sampai di Medan, kabar yang menceritakan Bandara Kuala Namu adalah bandara yang menakjubkan bukanlah isapan jempol semata. Benar-benar hebat, meski saya hanya bisa menikmatinya dari dalam pesawat. Saya merasakan udara Medan lagi, setelah kurang lebih 22 tahun yang lalu saya menghirup udara kota ini.Ya, saya pernah kesini saat berumur 4 tahun. Pada perjalanan kali ini, saya merasakan sensasi nyata "mengejar matahari". Mengapa saya katakan mengejar matahari? karena saat take off dari Jakarta matahari sudah menghilang, tapi sesaat pesawat hendak landing di Kuala Namu, saya masih melihat semburat cahaya matahari. Itu matahari yang sama kan dengan matahari yang sudah hilang di Jakarta?

Satu jam setelah pemandangan bandara yang menakjubkan di Medan, akhirnya saya menghirup udara Nanggroe Aceh Darussalam. Malam itu bandara Sultan Iskandar Muda sudah mulai sepi, mungkin pesawat saya adalah pesawat yang terakhir mendarat hari itu.

Lamanya perjalanan tidak membuat antusiasme saya hilang untuk segera menikmati sensasi ngopi di Banda Aceh. Setelah mandi, saya dan seorang teman mampir di sebuah warung kupi. Oh saya lupa, dari bandara saya mampir dulu ke simpang surabaya untuk menikmati ayam penyet yang menurut saya termasuk kategori enak, namanya pun unik, Ayam Penyet Nenen Simpang Surabaya.

Di Warung kupi, saya memesan sanger. Sanger adalah Kopi Aceh dicampur susu tanpa gula. Rasanya agak mirip Cappucino tapi ada sensasi asam di lidah. Menikmati malam dengan segelas sanger dingin sambil menyaksikan pertandingan Manchester City kontra Chelsea membuat malam pertama saya di Banda Aceh begitu sempurna.

Ah, cerita ini besok akan saya lanjutkan. Rencananya besok saya akan sarapa di Dapu Kupi lalu jalan-jalan ke museum tsunami.


Tidak ada komentar: